Rabu, 07 Juli 2010

KTI SNH

BAB II
LANDASAN TEORI

Pada BAB ini akan dibahas akan menguraikan konsep dasar stroke beserta dengan asuhan keperawatannya.
A. Konsep Dasar Medis
1. Defenisi
Stroke atau cidera serebrovaskular adalah kehilangan fungsi otak yang disebabkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak (Smeltzer & Bare, 2001).
Stroke adalah sindrom klinis yang timbulnya mendadak, progesif cepat, berupa defisit neurologis fokal atau global yang berlangsung dalam 24 jam atau lebih dan langsung menimbulkan kemampuan ataupun kecacatan dan semata-mata disebabkan oleh gangguan perdarahan otak non traumatik (Arif Mansyur, 2000).
Stroke atau cedera cerebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak yang sering ini adalah kulminasi penyakit serebrovaskuler selama beberapa tahun. (SmeltzerC.Suzanne,2002,hal.2131)


2. Anatomi Fisiologi
Otak merupakan pusat dari pengaturan dari semua organ tubuh, otak bagian dari sistem saraf sentral yang tertekan di dalam rongga tengkorak (kranium) yang dibungkus oleh selaput otak yang kuat.
Bagian-bagian dari otak adalah:
A. Otak besar (serebrum)
Otak besar mempunyai fungsi dalam pengaturan semua aktifitas mental, yaitu yang berkaitan dengan kepandaian (intelegensi), ingatan (memori), kesadaran, dan pertimbangan.
Otak besar merupakan sumber dari semua kegiatan/gerakan sadar atau sesuai dengan kehendak, walaupun ada juga beberapa gerakan refleks otak. Pada bagian korteks serebrum yang berwarna kelabu terdapat bagian penerima rangsang (area sensor ) yang terletak di sebelah belakang area motor yang berfungsi mengatur gerakan sadar atau merespon rangsangan. Selain itu terdapat area asosiasi yang menghubungkan area motor dan sensorik. Area ini berperan dalam proses belajar, menyimpan ingatan, membuat kesimpulan, dan belajar berbagai bahasa. Di sekitar kedua area tersebut dalah bagian yang mengatur kegiatan psikologi yang lebih tinggi. Misalnya bagian depan merupakan pusat proses berfikir (yaitu mengingat, analisis, berbicara, kreativitas) dan emosi. Pusat penglihatan terdapat di bagian belakang.

Gbr. Otak dengan bagian-bagian penyusunnya
Sumber (Pearch,Eveylyn.1989. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis . Jakarta : Gramedia)

B. Otak tengah (mesensefalon)
Otak tengah terletak di depan otak kecil dan jembatan varol. Di depan otak tengah terdapat talamus dan kelenjar hipofisis yang mengatur kerja kelenjar-kelenjar endokrin. Bagian atas (dorsal) otak tengah merupakan lobus optikus yang mengatur refleks mata seperti penyempitan pupil mata, dan juga merupakan pusat pendengaran.

Gbr. Otak dan kegiatan-kegiatan yang dikontrolnya
Sumber (Pearch,Eveylyn.1989. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis . Jakarta : Gramedia)

C. Otak kecil (serebelum)
Serebelum mempunyai fungsi utama dalam koordinasi gerakan otot yang terjadi secara sadar, keseimbangan, dan posisi tubuh. Bila ada rangsangan yang merugikan atau berbahaya maka gerakan sadar yang normal tidak mungkin dilaksanakan.


D. Jembatan varol (pons varoli)
Jembatan varol berisi serabut saraf yang menghubungkan otak kecil bagian kiri dan kanan, juga menghubungkan otak besar dan sumsum
tulang belakang.
E. Sumsum sambung (medulla oblongata)
Sumsum sambung berfungsi menghantar impuls yang datang dari medula spinalis menuju ke otak. Sumsum sambung juga mempengaruhi jembatan, refleks fisiologi seperti detak jantung, tekanan darah, volume dan kecepatan respirasi, gerak alat pencernaan, dan sekresi kelenjar pencernaan. Selain itu, sumsum sambung juga mengatur gerak refleks yang lain seperti bersin, batuk, dan berkedip.
F. Otak Belakang / Sumsum tulang belakang (medulla spinalis)
Pada penampang melintang sumsum tulang belakang tampak bagian luar berwarna putih, sedangkan bagian dalam berbentuk kupu-kupu dan berwarna kelabu.
Pada penampang melintang sumsum tulang belakang ada bagian seperti sayap yang terbagi atas sayap atas disebut tanduk dorsal dan sayap bawah disebut tanduk ventral. Impuls sensori dari reseptor dihantar masuk ke sumsum tulang belakang melalui tanduk dorsal dan impuls motor keluar dari sumsum tulang belakang melalui tanduk ventral menuju efektor. Pada tanduk dorsal terdapat badan sel saraf penghubung (asosiasi konektor) yang akan menerima impuls dari sel saraf sensori dan akan menghantarkannya ke saraf motor.


Gbr. Penampang melintang sumsum tulang belakang
Sumber (Pearch,Eveylyn.1989. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis . Jakarta : Gramedia)
Pada bagian putih terdapat serabut saraf asosiasi. Kumpulan serabut saraf membentuk saraf (urat saraf). Urat saraf yang membawa impuls ke otak merupakan saluran asenden dan yang membawa impuls yang berupa perintah dari otak merupakan saluran desenden.

A. Sistem Persarafan
Sistem saraf tersusun oleh berjuta-juta sel saraf yang mempunyai bentuk bervariasi. Sistern ini meliputi sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Dalam kegiatannya, saraf mempunyai hubungan kerja sepertimata rantai (berurutan) antara reseptor dan efektor. Reseptor adalah satu atau sekelompok sel saraf dan sel lainnya yang berfungsi mengenali rangsangan tertentu yang berasal dari luar atau dari dalam tubuh. Efektor adalah sel yang menghasilkan tanggapan terhadap rangsangan. Contohnya otot dan kelenjar.
Sistem saraf terdiri dari jutaan sel saraf (neuron). Fungsi sel saraf adalah mengirimkan pesan (impuls) yang berupa rangsang atau tanggapan. Setiap neuron terdiri dari satu badan sel yang di dalamnya terdapat sitoplasma dan inti sel. Dari badan sel keluar dua macam serabut saraf, yaitu dendrit dan akson (neurit). Dendrit berfungsi mengirimkan impuls ke badan sel saraf, sedangkan akson berfungsi mengirimkan impuls dari badan sel ke jaringan lain. Akson biasanya sangat panjang. Sebaliknya, dendrit pendek.

Gbr. Struktur Sel Saraf
Sumber (Pearch,Eveylyn.1989. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis . Jakarta : Gramedia)
Setiap neuron hanya mempunyai satu akson dan minimal satu dendrit. Kedua serabut saraf ini berisi plasma sel. Pada bagian luar akson terdapat lapisan lemak disebut mielin yang merupakan kumpulan sel Schwann yang menempel pada akson. Sel Schwann adalah sel glia yang membentuk selubung lemak di seluruh serabut saraf mielin. Membran plasma sel Schwann disebut neurilemma. Fungsi mielin adalah melindungi akson dan memberi nutrisi. Bagian dari akson yang tidak terbungkus mielin disebut nodus Ranvier, yang berfungsi mempercepat penghantaran impuls.
Berdasarkan struktur dan fungsinya, sel saraf dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu sel saraf sensori, sel saraf motor, dan sel saraf intermediet (asosiasi).
1.Sel saraf sensori
Fungsi sel saraf sensori adalah menghantar impuls dari reseptor ke sistem saraf pusat, yaitu otak (ensefalon) dan sumsum belakang (medula spinalis). Ujung akson dari saraf sensori berhubungan dengan saraf asosiasi (intermediet).
2. Sel saraf motor
Fungsi sel saraf motor adalah mengirim impuls dari sistem saraf pusat ke otot atau kelenjar yang hasilnya berupa tanggapan tubuh terhadap rangsangan. Badan sel saraf motor berada di sistem saraf pusat. Dendritnya sangat pendek berhubungan dengan akson saraf asosiasi, sedangkan aksonnya dapat sangat panjang.
3. Sel saraf intermediet
Sel saraf intermediet disebut juga sel saraf asosiasi. Sel ini dapat ditemukan di dalam sistem saraf pusat dan berfungsi menghubungkan sel saraf motor dengan sel saraf sensori atau berhubungan dengan sel saraf lainnya yang ada di dalam sistem saraf pusat. Sel saraf intermediet menerima impuls dari reseptor sensori atau sel saraf asosiasi lainnya. Kelompok-kelompok serabut saraf, akson dan dendrit bergabung dalam satu selubung dan membentuk urat saraf. Sedangkan badan sel saraf berkumpul membentuk ganglion atau simpul saraf.

Gbr. Struktur ganglion gabungan fari badan sel saraf
Sumber (Pearch,Eveylyn.1989. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis . Jakarta: Gramedia)

4. Etiologi
a. Trombosis
Bekuan darah didalam pembuluh darah otak atau leher yang bisa diakibatkan oleh arterosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral.


b. Embolisme
Bekuan darah atau materi lain yang di bawa ke otak dari bagian tubuh yang lain, yang bisa diakibatkan oleh abnormalitas patologik pada jantung kiri, seperti endokarditis infektif, penyakit jantung reumatik dan infark miokard serta infeksi pulmonal atau juga karena pemasangan katup jantung prostetik atau kegagalan pacu jantung, fibrilasi atrium dan kardioversi untuk fibrilasi atrium.
c. Iskemia
Penurunan suplai darah ke otak disebabkan karena konstriksi arteroma pada arteri yang menyuplai darah ke otak.
d. Hemorrage
Pecahnya pembuluh darah serebral dengan peredaran kedalaman jaringan otak atau ruang sekitar otak. Hemorrage dapat terjadi diluar duramater (Hemorrage Ekstradural/Epidural), dibawah duramater (hemoragik subdural), di ruang subaraknoid (hemoragi subaraknoid), dan didalam substansi otak (hemorrage intra serebral).

5. Patofisiologi
Stroke adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah otak, yang disebabkan salah satu dari ke empat faktor yaitu: trombosis, emboli, iskemia dan hemorrage. Hal ini mengakibatkan penurunan suplai darah ke otak. Stroke dapat terjadi secara mendadak, defisit neurologis karena insufisiensi suplai darah yang disebabkan oleh trombus biasanya skunder terhadap arterosklerosis, embolisme dari tempat lain akibat rupturnya arteri.
Jenis terbanyak dari penurunan perfusi serebral disebabkan oleh sumbatan atau perdarahan, trombosis menyebabkan iskemik pada jaringan yang diperdarahi oleh pembuluh darah yang terkena dan edema pada daerah-daerah sekitarnya. Daerah yang mengalami infark terjadi pada bagian otak yang tidak dapat perfusi dari ateri. Daerah yang mengalami hipoperfusi (iskemik) juga bertahan pada daerah yang mengalami infark, luasnya daerah ini tergantung dari jumlah aliran kolateral yang ada, aliran kolateral adalah pembuluh darah yang membantu aliran utama dari pembuluh darah di otak. Perbedaan-perbedaan dalam ukuran dan jumlah dari pembuluh darah kolateral menjelaskan perbedaan dalam beratnya keluhan yang dialami oleh klien yang berbeda dengan stroke pada daerah anatomi yang sama. Daerah yang mengalami edema setelah trombosis mungkin menyebabkan perubahan-perubahan neurologis yang sementara, edema mungkin dapat terjadi beberapa jam atau kadang dalam beberapa hari dan lien mendapatkan fungsi-fungsinya kembali. Penyakit serebrovaskular dari trombosis biasanya tidak fatal kecuali sampai infarknya meluas dan hebat.
Emboli menyebabkan nekrosis yang tiba-tiba dan edema sepertinya mengikuti kejadian trombosis itu. Jika emboli berisi bakteri, suatu abses akan terbentuk dimanaia bertempat menyebabkan ensepalitis atau dilatasi aneurisma dari pembuluh darah yang disebut aneurisma mikotik. Perdarahan masif (cepat dan banyak) didalam otak disebabkan oleh rupturnya pembuluh darah arteriosklerosis dan tekanan yang tinggi pada pembuluh darah, kebanyakan perdarahan intra serebral sangat luas, oleh karena itu hal yang tidak mengherankan jika perdarahan didalam otak menyebabkan kejadian terpenting yang fatal dari semua penyakit serebrovaskular. Aneurisma melemahkan tekanan didalam dinding pembuluh darah, walaupun hal itu biasanya lebih kecil di dalam otak namun dapat ruptur atau pecah (Smeltzer & Bare, 2001).
Stroke merupakan penyakit perdarahan otak yang diakibatkan oleh tersumbatnya aliran darah ke otak atau pecahnya pembuluh darah di otak, sehingga supplay darah ke otak berkurang (Smletzer & Bare, 2005). Secara umum ganguan pembuluh darah otak atau stroke merupakan gangguan sirkulasi serebral. Merupakan gangguan neurologik fokal yang dapat timbul sekunder dari suatu proses patologi pada pembuluh darah serebral. Stroke bukan merupakan penyakit tunggal tetapi merupakan kumpulan tanda dan gejala dari beberapa penyakit diantaranya ; hipertensi, penyakit jantung, peningkatan lemak dalam darah, diabetes mellitus, dan penyakit vaskuler perifer (Markus, 2001) Penyebab utama stroke berdasarkan urutan adalah aterosklerosis (trombosis), embolisme, hipertensi yang dapat menimbulkan perdarahan intraserebral dan rupture aneurisme sakuler (Price & Wilson, 2002). Trombosis serebral (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher), aterosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral merupakan penyebab utama terjadinya thrombosis. Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang di bawa ke otak dari bagian tubuh yang lain),abnormalitas patologik pada jantung kiri seperti endokarditis,jantungreumatik, serta infeksi pulmonal adalah tempat berasalnya emboli.



















Patofisiologi

















(Sumber: Smeltzer & Bare, 2001)


6. Manifestasi Klinis
Kehilangan motorik (hemiplagia, hemiparalisis, dispagia), kehilangan komunikasi (disatria, disphasia, afasia, apraksia), gangguan persepsi (disfungsi persepsai visual, gangguan hubungan dalam spasial, dan kehilaangan sensori), kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis, disfungsi kandung kemih, kelemahan anggota badan yang timbul mendadak, gangguan sensibilitas, gangguan penglihatan, perubahan mendadak status mental, vertigo, mual, dan nyeri kepala, peningkatan TIA setelah 24-72 jam setelah serangan, defisit neuro iskemik reperesible 24 jam setelah TIA terjadi.
Adanya gangguan pada jantung dapat menyebabkan terjadinya stroke. Pada fibrilasi atrium menyebabkan penurunan CO2, sehingga perfusi ke otak menurun. Maka otak akan kekurangan oksigen sehingga mengalami stroke. Pada aterosklerosis elastisitas pembuluh darah lambat sehingga perfusi ke otak kurang (Black & Hawk, 2005).Status neurologis lainnya adalah tingkat kesadaran baik kualitatif maupun kuantitas, dikaji sebagai acuan dalam penangganan pasien yang lebih intensif, karena pada faktor-faktor ini dapat menjadi petunjuk kerusakan yang terjadi (Vincent, 2005).

7. Pemeriksaan Penunjang
CT Scan Memperlihatkan adanya edema , hematoma, iskemia dan adanya infark Angiografi serebral membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan atau obstruksi ; arteri fungsi Lumbal menunjukan adanya tekanan normal tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukan adanya perdarahan;MRI Menunjukan daerah yang mengalami infark hemoragik; EEG: Memperlihatkan daerah lesi yang spesifik Ultrasonografi; Doppler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena; Sinar X Tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal (Doenges.E, Marilynn,2000 hal 292).
Pemeriksaan penunjang baik laboratorium, EKG dan lainnya penting dilakukan karena untuk mengetahui sejauh mana fungsi-fungsi organ tubuh mengalami gangguan, dan yang menjadi Gold standar dari pasien stroke yaitu penunjang yang harus dilakukan adalah CT-Scan dimana telah diuraikan pada konsepnya untuk memastikan penyebab terjadinya stroke dan area/lokasi/luas stroke yang terjadi (Tjokronegoro & Hendra, 2002) dan (Black & Hawk, 2005).

8. Penatalaksanaan
a. Pasien diletakkan pada posis lateral dengan semi telungkup dengan kepala tempat tidur ditinggikan sampai tekanan vena serebral berkurang.
b. Intubasi endotrakea dan ventilasi mekanik perlu untuk pasian dengan stroke masif, karena henti nafas merupakan faktor yang mengancam.
c. Pantau adanya komplikasi pulmonal yang berkaitan dengan kehilangan refleks jalan nafas, mobilitas atau hiperventilasi.
d. Jantung diperiksa untuk abnormalitas.
e. Terapi obat-obatan seperti: diuretik dan antikoagulan.
f. Pengaturan nutrisi.
g. Mempertahankan jalan nafas dan pemberian oksigen.
h. Pemasangan folley cateter.
i. Rehabilitas neurologis.

9. Komplikasi
a. Hipoksia serebral
b. Embolisme seebral
c. Peningkatan TIK
d. Herniasi otak
e. Gagal nafas
f. Defisit neurologis
g. Kelumpuhan
h. Kematian

B. Konsep Dasar Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pola persepsi kesehatan
Riwayat hipertensi, pola hidup, pengetahuan klien dan keluarga mengenai kesehatan, riwayat penyakit yang pernah diderita, upaya mempertahankan kesehatan, hal-hal yang membuat status kesehatan berubah.

b. Pola nutrisi metabolik
Kemampuan klien untuk mengunyah dan menelan, makanan dan minuman sehari-hari, makanan kesukaan klien, jumlah makanan yang masuk sehari-hari.
c. Pola eliminasi
Kaji apakah ada inkotinensia urin, gangguan pola eliminasi feses, kebiasaan BAB, kesulitan saat BAB, alat-alat bantu BAB (obat-obatan), karakteristik feses. Jumlah urin yang keluar perhari, warna urin, dan karakteristik urin.
d. Pola aktifitas
Kaji gangguan motorik, kegiatan klien sehari-hari sebelum sakit, tanyakan apakah ada rasa lemah badan, kaji aktifitas yang dapat dilakukan klien dan yang tidak dapat dilakukan, kaji kebutuhan ADL yang dapat dilakukan sendiri.
e. Pola tidur dan istirahat
Tanyakan kebiasaan dan jumlah jam tidur dalam sehari, apakah ada kebiasaan tertentu sebelum tidur, upaya yang dilakukan bila sulit tidur, observasi keadaan lingkungan yang dapat mengganggu istirahat.
f. Pola persepsi kognitif
Tanyakan kesulitan dalam pemahaman, penurunan daya ingat dan kurang motivasi, cara mengatasi bila ada rasa nyeri, apakah ada alat bantu penglihatan, pendengaran, apakah mudah mempelajari sesuatu.
g. Pola persepsi dan konsep diri
Tanyakan persepsi klien tentang dirinya, dapatkah menjelaskan ideal diri, dapat mengungkapkan rasa cemas terhadap dirinya, pandangan klien terhadap perubahan dirinya sehubungan dengan sakit.
h. Pola peran dan hubungan
Kaji peranan klien dirumah, dalam lingkungan masyarakat, apakah klien merasa dibutuhkan dalam keluerga, bagaimana hubungan pribadi klien dengan orang lain, adakah gangguan komunikasi sebelumnya, siapa saja yang mempunyai hubungan akrab dengan klien.
i. Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stres
Kaji bagaimana respon klien saat menghadapi masalah, bagaimana cara mengatasinya, siapa orang yang paling membantu saat mengalami masalah, adakah ungkapan klien tentang penyangkalan terhadap penyakitnya.
j. Pola reproduksi dan seksualitas
Kaji sesuai usia, jenis kelamin dan situasi, kaji pengetahuan klien tentang penyakit seksual, adakah keluhan klien yang berhubungan dengan organ reproduksi.
k. Pola sistem kepercayaan
Tanyakan kepada klien apakah ada menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaannya, agama apa yang diyakini selama ini, adakah ungkapan klien tentang kebutuhan spiritual, apakah selama ini RS mengganggu atau mempengaruhi kegiatan ibadah klien.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Kerusakan perfusi jaringan otak b/d interupsi aliran darah: gangguan oklusif, hemorrage, vasoplasma serebral, cidera serebral.
b. Kerusakan mobilitas fisik b/d hemiparalisia, kehilangan keseimbangan atau koordinasi, spatisitas dan cidera otak.
c. Kerusakan komunikasi verbal b/d kerusakan otak.
d. Kurang perawatan diri (Higiene, toileting, berpindah dan makan) b/d gejala sisa stroke.
e. Resiko tinggi terhadap kesukaran menelan b/d kerusakan neuro muskular atau perseptual.
f. Gangguan rasa nyaman; nyeri b/d hemiplegia dan disuse
g. Inkotinensia urin b/d kandung kemih flaksid, ketidakstabilan detrusor, kesulitan dalam berkomunikasi.
h. Perubahan proses berfikir b/d kerusakan otak, konvulsi, ketidakmampuan untuk mengikuti instruksi.

3. Rencana Keperawatan
Diagnosa I
Gangguan perfusi jaringan b/d interupsi aliran darah; gangguan oklusif, hemoragik; vasopasme serebral, edema serebral
a. Tujuan
Mempertahankan tingkat kesadaran biasanya atau membaik, fungsi kognitif, dan motorik sensorik.
b. Kriteria evaluasi
Mendemonstrasikan tanda-tanda vital stabil dan tidak adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, menunjukan ketidakadanya kelanjutan deteriorasi atau kekambuhan defisit.
c. Intervensi
1) Pantau dan catat status neurologis sesering mungkin dan bandingkan dengan keadaan normalnya.
Rasional: mengetahui kecendrungan peningkatan kesadaran dan potensial peningkatan tekanan intrakranial serta mengetahui lokasi, luas dan kemajuan atau resolusi kerusakan susunan syaraf pusat, Transient ischemic attack (TIA) dapat merupakan tanda terjadinya Cerebro Vaskular Accident (CVA).

2) Berikan oksigen sesuai dengan indikasi
Rasional: menurunkan hipoksia yang dapat menyebabkan vasodilatasi serbral dan tekanan meningkat dan terbentuknya edema.
3) Berikan obat sesuai indikasi, Steroid, Dexametasoon (Dexadrone).
Rasional: penggunaannya kontroversial dalam mengendalikan edema serebral.
4) Kaji fungsi yang lebih tinggi seperti fungsi bicara (jika pasien sadar, komunikasi, kerusakan verbal)
Rasional: perubahan dalam isi kognitif dan bicara merupakan indikator dari lokasi atau derajat gangguan serebral dan mungkin mengindikasikan penurunan ataupun peningkatan tekanan intrakranial (Doenges, at All, 2000 hal. 296-305).

Diagnosa II
Kerusakan mobilitas fisik b/d hemiparalisia, kehilangan keseimbangan atau koordinasi, spatisitas dan cidera otak
a. Tujuan
Mempertahankan posisi optimal dan fungsi yang dibuktikan dengan tidak adanya tanda kontraktur.
b. Kriteria evaluasi
Mendemonstrasikan tehnik atau prilaku yang memungkinkan melakukan aktivitas, mempertahankan integritas kulit.
c. Intervensi
1) Tempatkan bantal dibawah axilla untuk melakukan abduksi pada lengan.
Rasional: mencegah abduksi dan fleksi siku


2) Evaluasi pengunaan dari kebutuhan alat bantu untuk pengaturan posisi dan pembalut selama periode paralisis spatis.
Rasional: kontraktur fleksi dapat terjadi akibat dari otot fleksor lebih kuat dibandingkan dengan otot ekstensor.
3) Posisikan lutut dan panggul dalam posisi ekstensi
Rasional :Mempertahankan posisi fungsional
4) Pertahankan kaki dalam posisi netral dengan gulungan atau bantalan trokanter.
Rasional :Mencegah rotasi eksternal pada pinggul.
(Doenges, at All, 2000 hal. 296-305)

Diagnosa III
Kerusakan komunikasi verbal b/d kerusakan otak.
a. Tujuan
Tidak terjadi kerusakan verbal yang semakin parah/ berat (kecacatan)
b. Kriteria evaluasi
Membuat metode komunikasi dimana kebutuhan dapat diekspresikan, menggunakan sumber-sunber yang tepat.
c. Intervensi
1) Minta klien untuk mengikuti perintah sederhana (membuka mata, tujukan ke pintu), ulangi dengan kata yang sederhana.
Rasional: melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan sensorik.
2) Tunjukan objek dan minta klien untuk menyebutkan mana benda tersebut.
Rasional: melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan motorik seperti klien mungkin mengenalinya tetapi tidak dapat menyebutkannya.
3) Berikan metode komunikasi alternatif seperti menulis di papan tulis, membuat gambar, berikan petunjuk visual (gerakan tangan, gambar-gambar dan kebutuhan demonstrasi)
Rasional: memberikan komunikasi tentang kebutuhan berdasarkan keadaan atau defisit yang mendasarinya.
4) Antisipasi dan penuhi kebutuhan klien.
Rasional: bermanfaat dalam menurunkan frustasi bila bergantung pada orang lain.
5) Konsultasikan dengan ahli terapi bicara.
Rasional: pengkajian secara individual kemampuan bicara dan sensori, motorik dan kognitif berfungsi untuk mengidentifikasi kekurangan kebutuhan terapi.
(Doenges, at All, 2000 hal. 296-305)

Diagnosa IV
Kurang perawatan diri (Higiene, toileting, berpindah dan makan) b/d gejala sisa stroke.
a. Tujuan
Kebutuhan ADL sehari-hari terpenuhi.
b. Kriteria evaluasi
Mendemonstrasikan tehnik atau perubahan gaya hidup untuk melakukan aktifitas perawatan diri dalam tingkat kemampuan sendiri.
c. Intervensi
1) Hindari untuk melakukan sesuatu yang dapat dilakukan sendiri, tetapi berikan bantuan sesuai kebutuhan klien.
Rasional: pasien mungkin menjadi sangat ketakutan dan tergantung meskipun bantuan yang diberikan bermanfaat mencegah frustasi, adalah penting bagi klien untuk melakukan sebanyak mungkin kegiatan sendiri untuk mempertahankan harga diri dan peningkatan pemulihan.
2) Sadari prilaku invulsif karena gangguan dalam pengambilan keputusan.
Rasional: dapat menunjukan kebutuhan intervensi dan pengawasan tambahan untuk meningkatkan keamanan pasien.
3) Berikan umpan balik yang positif untuk setiap tingkah usaha yang dilakukan atau keberhasilannya.
Rasional: meningkatkan perasaan makna diri, meningkatkan kemandirian, mendorong klien untuk berusaha secara kontinyu.

4) Konsultasikan dengan ahli fisioterapi
Rasional: memberikan bantuan yang mantap untuk mengembangkan rencana terapi dan mengidentifikasi kebutuhan alat khusus.
(Doenges, at All, 2000 hal. 296-305)

Diagnosa V
Resiko tinggi terhadap kesukaran menelan b/d kerusakan neuro muskular atau perseptual.
a. Tujuan
Tidak terjadi kerusakan pada proses menelan.
b. Kriteria evaluasi
Mendemostrasikan cara makan tepat untuk situasi individual dengan aspirasi tercegah, mempertahankan BB yang diinginkan.
c. Intervensi
1) Tingkatkan upaya untuk dapat melakukan proses menelan seperti membantu pasien dengan mengontrol kepala.
Rasional: menetralkan hiperekstensi, membantu mencegah aspirasi dan meningkatkan kemampuan menelan.


2) Letakkan pasien pada posisi duduk atau tegak selama dan setelah makan.
Rasional: menggunakan gravitasi untuk menelan dan menurunkan resiko terjadinya aspirasi.
3) Stimulasi bibir untuk membuka dan menutup secara manual dengan menekan dengan ringan diatas bibir atau bawah dagu.
Rasional: membantu dalam melatih kembali sensori dan meningkatkan kontrol muskular.
4) Letakkan makanan pada daerah mulut yang tidak tergangu
Rasional: memberi stimulasi sensorik (termasuk rasa kecap) yang dapat mencetuskan usaha untuk menelan dan meningkatkan masukan.
5) Anjurkan klien untuk berpartisipasi dalam program latihan atau kegiatan.
Rasional: dapat meningkatkan pelepasan endorpin dalam otak meningkatkan perasaan senang dan meningkatkan nafsu makan.
6) Pertahankan masukan dan haluaran secara akurat, catat jumlah yang masuk.
Rasional: jika usaha menelan tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan cairan dan makanan, harus dicari metode alternatif lain untuk memasukkan makanan.
(Doenges, at All, 2000 hal. 296-305)

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Untuk menyusun prioritas masalah penulis mengacu pada hirarki Abraham Maslow, yaitu :

Aktualisasi diri

Harga diri
Mencintai dan dicintai

Rasa aman dan nyaman
Kebutuhan fisiologis O2, CO2, elektrolit, makanan.

Keterangan :
1. Kebutuhan Fisiologi
Contoh : O2, CO2, elektrolit, makanan, seks
2. Rasa aman dan nyaman
Contoh : Merasa aman tinggal di rumah sakit dan merasa dilindungi oleh perawat serta merasa nyaman dengan pelayanan perawat.
3. Mencintai dan dicintai
Contoh : Kasih sayang, mencintai dan dicintai
4. Harga diri
Contoh : Merasa dihargai dan diterima dalam lingkungan masyarakat
5. Aktualisasi diri
Contoh : Ingin diakui, berhasil, dan menonjol.
(Smeltzer dan Bare, 2000)

Mengacu pada hirarki A. Maslow dan dibandingkan dengan analisa data maka penulis mengangkat diagnosa sebagai berikut:
1. Gangguan Perfusi Jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan tekanan intra kranial
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik
3. Gangguan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan kelemahan otot menelan
4. Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan alat infasif ( infus, kateter )
5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparalisa
6. Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar