Rabu, 07 Juli 2010

KTI FRAKTUR FEMUR

BAB II
TINJAUAN TEORI

Dalam penulisan landasan teori ini terdiri dari anatomi dan fisiologi tulang femur, konsep dasar fraktur, etiologi, proses penyembuhan tulang, patofisiologi, komplikasi, penatalaksanaan, serta asuhan keperawatan klien dengan fraktur.
A. Anatomi Dan Fisiologi Tulang Femur
Disini penulis hanya membahas anatomi tulang Femur sesuai dengan kasus yang didapati yaitu Fraktur tulang Femur dekstra.
Os Femur atau tulang paha adalah tulang terpanjang dari tubuh. Tulang ini bersendi dengan asetabulum dan formasi persendian panggul dan dari sini menjulur ke persendian lutut dan membuat sendi dengan tibia. Tulangnya berupa tulang pipa dan mempunyai sebuah batang dan sebuah ujung.
Ujung atas memperlihatkan sebuah kepala yang menduduki dua pertiga dari daerah itu, dipuncaknya ada sebuah lekukan seperti kulit telur dengan permukaan kasar, untuk kaitan dengan ligamentuim teras. Dibawah kepala ada leher yang panjang dan gepeng. Pada dataran ini, ditempat leher menjadi batang, sebelah luar terdapat trokanther minor.Batang femur berbentuk silinder, halus dan bundar, didepan dan sisi-sisinya melengkung ke depan dan di belakangnya ada belebas yang sangat jelas disebut linea aspera, tempat kaitan sejumlah otot, diantaranya adductor dari paha.
Ujung bawah adalah lebar dan memperlihatkan dua kondil, sebuah lekukan interkondiler, sebuah permukaan poplineum dan sebuah permukaan patealaris. Kedia kondisinya sangat jelas menonjol, yang medial lebih rendah dari yang lateral. Keduanya masuk dalam formasi persendian lutut. ( Pearce Evelynn. C, 1999 )
( Gambar tulang femur terlampir )

B. Konsep Dasar Fraktur
1. Defenisi
a. Fraktur adalah terputusnya hubungan / kontinuitas jaringan atau tulang. Fraktur dapat mengenai semua bagaian tubuh dan usia. Fraktur lebih sering terjadi pada laki – laki dari pada orang perempuan dengan umur di bawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga, pkerjaan atau luka yang disebabkan oleh kendaraan bermotor , sedangkan pada orang tua serta pada wanita lebih sering mengalami fraktur yang dikarenakan oleh pengaruh perubahan hormon pada menaupause.( Depkes RI, 1995 ).
b. Fraktur adalah gangguan pada kontinuitas tulang yang normal yang terjadi akibat adanya stress yang lebih besar pada tulang dari yang diserap oleh tulang (Black Joyce M. and jacob Matassarin Esther, 1997)
c. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya. ( Brunner dan Suddarth, 2002 )
d. Fraktur adalah gangguan kontinuitas yang terjadi ketika tulang mendapt tekanan yang lebih besar dari pada yang dapat diabsorbsinya dan dapat tejadi juga injuri jaringan lunak disekitarnya. Walaupun beberapa fraktur dapat mengancam kehidupan ( karena berhubungan dengan perdarahan dan shock ) sebagian lagi tidak mengancam kehidupan. (Luckmann and Sorensen 1993 ).
e. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang. ( Corwin Elizabeth. J, 2001 )
Jenis – jenis fraktur Menurut Reeves, Charlene. J, ( 1999 ) terdiri dari :
a. Menurut hubungan dengan dunia luar.
1) Fraktur terbuka (berhubungan dengan dunia luar)
a) Pecahnya tulang masuk ke dalam kulit.
b) Kerusakan jaringan kulit menyebabkan resiko tinggi terhadap infeksi.
2) Fraktur tertutup yaitu fragmen tulang tidak berhubungan dengan dunia luar (tidak terjadi kerusakan jaringan kulit).
b. Menurut bentuk fraktur
1) Tranversal (bentuk fraktur melintang)
2) Miring (oblique)
3) Melingkar ( spiral )
c. Menurut jumlah garis fraktur
1) Single fraktur : hanya terdapat satu garis fraktur.
2) Multiple fraktur : lebih dari satu garis fraktur.
3) Meliangkar.
d. Menurut garis fraktur
1) Inkomplit : tulang tidak terpotong secara total.
2) Komplit : terpotong secara total.
3) Hair Line : garis tulang hampir tidak tampak sehingga bentuk tulang tidak ada peruhan.

2. Etiologi
Menurut Black Joyce M, (1997 ) ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya fraktur, yaitu :
a. Trauma , dapat dibagi menjadi dua :
1) Direct : fraktur terjadi pada tulang yang terkena benturan secara langsung.
2) Indirect : fraktur yang terjadi pada tulang yang terletak jauh dari tempat terjadinya trauma.
b. Patologi : Fraktur yang terjadi secara tidak wajar karena fraktur bisa terjadi walau hanya terkena stress normal tidak mungkin terjadi (misalnya : terbentur benda biasa seperti meja) fraktur ini juga diakibatkan oleh adanya kelainan pada tulang tersebut ( seperti tumor tulang, infeksi tulang dan lain-lain ).
c. Degeneratif : Fraktur yang terjadi karena adanya proses kemunduran misalnya pada klien hiperkiroid.
d. Spontan : fraktur yang terjadi karena adanya tarikan otot yang sangat kuat, biasanya pada penari balet.
3. Patofisiologi
Sewaktu tulang patah ( fraktur ) mengakibatkan terpajannya sum-sum tulang atau pengaktifan saraf simpatis yang mengakibatkan tekanan dalam sum-sum tulang, sehingga merangsang pengeluaran katekolamin yang yang akan merangsang pembebasan asam lemak kedalam sirkulasi yang menyuplai oragan, terutama organ paru sehingga paru akan terjadi penyumbatan oleh lemak tersebut maka akan terjadi emboli dan menimbulkan distress atau kegagalan pernafasan.
Trauma yang menyebabkan fraktur ( terbuka atau tertutup ) yang mengakibatkan perdarahan terjadi disekitar tulang yang patah dan kedalam jaringan lunak disekitar tulang tersebut dan terjadi perdarahan masif yang bila tidak segera ditangani akan menyebabkan perdarahan hebat, terutama pada fraktur terbuka ( shock hypopolemik ).
Perdarahan masif ini ( pada fraktur tertutup ) akan meningkatkan tekanan dalam suatu ruang diantara tepi tulang yang yang fraktur dibawah jaringan tulang yang membatasi jaringan tulang yang fraktur tersebut, menyebabkan oedema sehingga akan menekan pembuluh darah dan saraf disekitar tulang yang fraktur tersebut maka akan terjadi sindrom kompartemen ( warna jaringan pucat, sianosis, nadi lemah, mati ras dan nyeri hebat. )dan akan mengakibatkan terjadinya kerusakan neuro muskuler ( 4-6 jam kerusakan yang irreversible, 24-48 jam akan mengakibatkan organ tubuh tidak berfungsi lagi ).
Perdarahan masif juga dapat menyebabkan terjadinya hematoma pada tulang yang fraktur yang akan menjadi bekuan fibrin yang berfungsi sebagai jala untuk melekatnya sel-sel baru. Aktivitas osteoblas segera terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut kalus. Bekuan fibrin direabsorbsi sel-sel tulang baru secara perlahan mengalami remodeling ( membentuk tulang sejati ) tulang sejati ini akan menggantikan kalus dan secara perlahan mengalami kalsifikasi ( jadi tulang yang matur ).





Skema Patofisiologi
Trauma ( langsung atau tidak langsung )
Fraktur terbuka atau tertutup ( sel-sel tulang mati )
Perdarahan terjadi disekitar tulang yang patah dan kedalam jaringan lunak disekitar tulang tersebut ( jaringan lunak disekitar tulang yang patah tersebut
juga mengalami kerusakan )

Syock hypopolemik Perdarahan massif
Peningkatan tekanan dalam suatu ruang
diantara tepi tulang yang fraktur
dibawah periosteum jar. tulang yang membatasi jar. Tulang
Terpajannya sum-sum yang fraktur tersebut
Tulang atau pengaktifan
Saraf simpatis. Oedeme, menekan pembuluh Darah dan saraf
Peningkatan tekanan dalam disekitar tulang yang fraktur tersebut
sum-sum Tulang, merangsang
pengeluaran Terjadi sindrom kompartemen
Katekolamin. yang menyuplai ditandai dengan warna jaringan
pucat, sianosis,nadi lemah,mati rasa,nyeri hebat
Merangsang pembebasan Terjadi kerusakan neuromuskuler4-6 jam irreversible dan setelah
asam lemak 24-48jam organ tubuh tidak berfungsi lagi
Kedalam sirkulasi
banyak organ
terutama organ paru-paru
. Terjadi hematoma pada tulang
Yang fraktur yang menjadi bekuan fibrin Yang berfungsi
Terjadi emboli sebagai jala untuk melekatnya Sel – sel baru

Menimbulkan distress atau Aktivitas osteoblas segera terangsang
Kegagalan pernafasan dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut kalus

Bekuan fibrin direasorbsi dan sel-sel tulang baru
secara perlahan mengalami remodeling ( membentuk tulang sejati )


Tulang sejati menggantikan kalus dan secara perla han
Mengalami kalsifikasi ( tulang yang matur )


( Corwin Elizabeth. J, 2001 )

4. Proses Penyembuhan Tulang (Bone healing)
Pada proses penyembuhan tulang menurut Rasjad Chaeruddin, ( 2000 ) terdiri dari beberapa fase, yaitu :
a. Hematoma Stage
Dalam 24 jam mulai pembekuan darah terjadi hematom sekitar fraktur, setelah 24 jam suplai darah ke ujuang fraktur meningkat, hematom mengelilingi fraktur dan tidak diabsborbsi selama peyembuhan tetapi berubah menjadi Granulasi.
b. Cellular Proliferation stage
Sel – sel kapiler baru secara bertahap menginvasi hematoma, bebrapa hari jaringan granulasi menggantikan bekuan darah. Dua hari setelah injuri sel darah merah dan puing – puing jaringan dikeluarkan dengan cara fagositosis. Secara bersamaan bekuan darah pada perifer dimusnahkan fibroblas. Kemudian membentuk jaringan callus halus di sekeliling fraktur.
c. Callus Formation Stage
6 – 7 hari setelah fraktur, jaringan granulasi berubah dan membentuk cartilago dan matriks diawali dari jaringan callus yang lunak. Callus bertambah banyak, meluas dan menganyam masa tulang dan cartilago sehingga diameter tulang melebihi normal , hal ini untuk melindungi fragmen tulang tetapi tidak memberikan kekuatan.
d. Callus Ossification Stage
callus yang menetap menjadi tulang kaku karena adanya penumpukan garam. Garam dan kalsium dan bersaatu bersama ujung – ujung tulang. Proses dari callus bagian luar kemudian bagian dalam dan tengah (3-10 minggu).
e. Consolidation and Remodelling
Pada waktu yang sama pembentukan tulang yang sebenarnya, callus dibentuk dari aktivitas dan osteoclass, kelebihan – kelebihan tulang seperti di paha dan diabsorbsi dari callus.
(Gambar Proses Penyembuhan Tulang Terlampir )


5. Komplikasi
Menurut Black Joyce M, ( 1997 ) bahwa komplikasi fraktur terdiri dari :
a. Immediete (segera)
1) Shock Neurogenic
2) Kerusakan Organ dan injury.
b. Early Complication
1) Osteomyelitis
2) Emboli
3) Tetanus, Necrosis
4) Syndrom kompartemen
c. Late Complication
1) Kaku Sendi
2) Degeneratif Sendi
3) Penyembuhan Luka Terganggu
6 Pemeriksaan diagnostik / penunjang.
a. Pemeriksaan Diagnostik
1). Pemeriksaan sinar X : Menentukan lokasi atau luasnya fraktur/trauma.
2) Scan Tulang : Memperlihatkan fraktur, juga dapat mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3) Arteriogram : Dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
4) Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple). Peningkatan jumlah SDP adalah respons stress normal setelah trauma.
5) Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
6) Profil koagulasi : Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,tranfusi multiple,atau cedera hati. ( Doenges. ME, 2000 )


7. Penatalaksanaan
Pada klien dengan masalah fraktur femur dapat diberikan penatalaksaan non operatif dan operatif.
a. Non Operatif
Untuk fraktur yang tidak mengalami dislokasi dapat ditanggulangi dengan beberapa cara , antara lain :
1) Perban elastis (teknis Robert jones)
2) Memasang gips (long leg plaster)
3) Traksi skeletal menurut cara Appley. klien tidur terlentang, pada femur 1/3 proksimal dipasang steinmann pin, langsung ditarik dengan beban yang cukup (> 6 Kg). Sementara dilakukan traksi, lutut pasien yang cidera dapat digerakkan.
b. Operatif
Apabila terjadi dislokasi yang cukup lebar atau permukaan sendi tibia amblas lebih dari 2 mm, dilakukan reduksi terbuka dan dipasang fiksasi interna dangan butress plate dan cancellous screw.( Black Joyce. M 1997 )
C. Asuhan keperawatan Klien dengan fraktur
Proses keperawatan adalah suatu metode dimana suatu konsep diterapkan dalam praktek keperawatan, yang mana hal ini disebut sebagai pendekatan “ Problem solving “ yang memerlukan ilmu, tekhnik dan keterampilan interpersonal dan ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan klien/keluarga ( Nursalam, 2001 )
1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan yang merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien. ( Nursalam, 2001, dikutip dari Iyer et al, 1996 )
Menurut Doenges. ME. ( 2000 ) pengkajian pada klien dengan fraktur terdiri dari :
Aktivitas dan istirahat.
Tanda : keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena ( mungkin segera, fraktur itu sendiri, atau terjadi secara sekunder, dari pembengkakan jaringan, nyeri ).
Sirkulasi.
Tanda : Hipertensi ( biasanya sebagai respon dari rasa nyeri atau cemas ) atau hipotensi karena perdarahan, takikardi sebagai respon dari stress atau syok hipopolemi,bradikardi pada bagian distal yang cidera,pengisian kapiler lambat,pucat pada bagian yang terkena.
Neurosensori
Tanda dan gejala : Hilang gerakan/spasme otot, kesemutan,deformitas lokal, angulasi abnormal pemendekan, rotasi, krepitasi, agitasi.
Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Nyeri berat secara tiba-tiba pada saat cedera karena kerusakan jaringan atau tulang atau tak ada nyeri akibat kerusakan saraf.
Keamanan
Gejala : Laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan warna, pembengkakan lokal.
2. Diagnosa Keperawatan
Dinagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respon manusia ( status kesehatan atau resiko perubahan pola ) dari individu atau kelompok dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan , menurunkan, membatasi, mencegah dan merubah. ( Capernito. 2000 )
Adapun diagnosa keperawatan pada klien fraktur menurut Doenges. ME. (2000 ) antara lain :
a. Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan kehilangan integritas tulang (fraktur)
b. Nyeri berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, dan cidera pada jaringan lunak, alat traksi atau immobilisasi, strees, ansietas.
c. Disfungsi neuro vaskuler perifer, resiko tinggi terhadap berhubungan dengan penurunan atau interupsi darah adalah : cidera vaskuler langsung, oedema berlebihan, pembentuksn trombus, hipovolemia.
d. Pertukaran gas, kerusakan, resiko tinggi terhadap berhubungan dengan aliran darah atau emboli lemak, perubahan membran alveola atatu kapiler : interstisial, edema paru, kongesti.
e. Mobilitas fisik, kerusakan berhubungan kerusakan rangka neurovaskuler, nyeri ketidak nyamanan, terapi restriktif (imobilisasi tungkai).
f. Integritas kulit atau kerusakan jaringan : aktual atau resiko tinggi terhadap berhubungan dengan cidera tusuk, fraktur terbuka, bedah perbaikan, pemasangan traksi pen, kawat sekrup, perubahan sensasi, sirkulasi, akumulasi ekskresi atau sekret, imobilisasi fisik.
g. Infeksi, resiko tinggi terhadapberhubungan dengan tak adekuatnya pertahanan primer, kerusakan kulit, trauma jaringan, terpajan pada lingkungan, prosedur invasif, traksi tulang.



3. Perencanaan
Perencanaan meliputi pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi atau mengoreksi masalah-masalah yang diidentifikasi pada diagnosa keperawatan. Tahap ini dimulai setelah menentukan diagnosa keperawatan dan menyimpulkan rencana dokumentasi. ( Nursalam, 2001, dikutip dari Iyer, 1996 )
Dx. I Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan kehilangan integritas tulang
Tujuan : Memperthankan stabilisasi dan posisi fraktur
Kriteria nhasil : Menunjukan nmekanika tubuh yang meningkatkan stabilitas pada posisi fraktur dan menunjukan pembentukan kalus atau mulai penyatuan dengan tepat.
Rencana Tindakan
1. Pertahankan tirah baring / ekstrimitas sesuai indikasi.
Rasional : Meningkatkan stabilitas, menurunkan kemungkinan gangguan posisi atau penyembuhan
2. Sokong fraktur dengan bantal / gulungan selumut
Rasional : Mencegah gerakan yang tak perlu dan perubahan.
3. Evaluasi pembebat ekstrimitas terhadap resolusi oedema
Rasional : Pembebat koapsi memungkinkan digunakan untuk memberikan immobilisasi fraktur dimana pembengkakan jaringan berlebihan.
4. Kolaborasi kaji ulang foto / evaluasi.
Rasional : Memberikan bukti visual mulainya pembengkakan kalus / proses penyembuhan untuk menenntukan tingkat aktivitas dan kebutuhan perubahan / tambahan terapi.
5. Berikan / perubahan stimulasi listrik bila digunakan.
Rasional : Mungkin diindikasikan untuk meningkatkan pertumbuhan tulang pada keterlambatan penyembuhan / tidak menyatu.
Dx. 2 Nyeri berhubungan dengan spasme dan gerakan fragmen tulang, oedema, dan cidera pada jaringan lunak.
Tujuan : Menyatakan nyeri hilang
Kriteria hasil : Menunjukan tindakan santai ; mampu berpartisipasi dalam aktivitas / tidur / istirahat dengan tepat.
Rencana tindakan
1. Pertahankan immobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring.
Rasional : Mengurangi nyeri dan mempertahankan posisi tulang / tegangan jaringan yang cidera.
2. Tinggikan dan dukung ekstrimitas yang terkena.
Rasional : Meningkatkan aliran balik vena, menurunkan kesalahan posisi tulang / tegangan jaringan yang cidera.
3. Hindari penggunaan sprei / bantal plastik dibawah ekstrimitas dibawah gips.
Rasional : Dapat meningkatkan ketidaknyamanan karena peningkatan produksi panas dalam gips yang kering
4. Pertahankan linen terbuka pada ibu jari kaki.
Rasional : Mempertahankan kehangatan tubuh tanpa ketidaknyamanan karena tekanan selimut pada bagian yang sakit.
5. Evaluasi keluhan nyeri / ketidaknyamanan, perhatikan lokasi dan karakteristik, termasuk intensitas ( skala 0-10 ).
Rasional : Mempengaruhi pilihan / pengawasan / keefektifan. Tingkat ansietas dapat mempengaruhi persepsi / reaksi tehadap nyeri
6. Dorong klien untuk mendiskusikan masalah sehubungan dengan cidera
Rasional : Membantu untuk menghilangkan ansietas klien dan dapat merasakan kebutuhan untuk menghilangkan pengalaman kecelakaan
7. Jelaskan prosedur sebelum tindakan
Rasional : Memungkinkan klien untuk siap secara mental untuk aktivitas juga berpartisipasi dalam mengontrol tingkat kenyamanan.
8. Beri obat sebelum perawatan aktivitas.
Rasional : Meningkatkan relaksasi otot dan meningkatkan partisipasi.
9. Lakukan pengawasan latihan rentang gerak pasif/ aktif.
Rasional : Mempertahankan kekuatan mobilitas otot yang sakit dan memudahkan resolusi inflamasi pada jaringan yang cedera
10. Dorong klien menggunakan manajemen strees (relaksasi dan distraksi).
Rasional : Meningkatkan rasa kontrol, dan meningkatkan kemampuan koping dalam manajemen nyeri.
11. Kolaborasi : pemberian analgetik
Rasional : Mencegah fluktuasi dalam penghalangan nyeri berhubungan dengan ketengan otot spasme.
DX.3 Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri atau ketidaknyamanan
Tujuan : Meningkatkan atau mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi
Kriteria hasil : Mepertahankan posisi fungsional dan menunjukan mampu melakukan aktivitas, menunjukkan nyeri atau ketidaknyamanan tidak terujadi.
Rencana tindakan
1. Kaji derajat imobilitas pasien
Rasional : Pasien mungkin dibatasi dalam aktivtas fisik
2. Dorong partisipasi klien pada aktivitas terapeutik/rekreasi.
Rasional : Memberikan kesempatan pada klien untuk meningkatkan rasa kontrol diri dan membantu menurunkan isolasi sosial
3. Bantu klien dalam rentang gerak aktif/pasif
Rasional : Untuk meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang
4. Bantu klien dalam perawatan diri (mandi, eliminasi)
Rasional :Untuk meningkatkan kontrol pasien dalam situasi, dan meningkatkan kesehatan diri langsung.
5. Awasi TD setelah melakuakn aktivitas
Rasional : Hipotensi postural adalh masalah umum menyertai tiorah baring yang lama.
6. Ubah posisi secara periodik
Rasional : Mencegah komplikasi pada kulit contohnya dekubitus.
DX.4 Kerusakan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan fraktur terbuka
.Tujuan : Menyatakan ketidaknyamanan menghilang
Kriteria hasil : Menunjukkan perilaku mencegah kerusakan kulit, mencapai penyembuhan luka tepat waktu.
Rencana tindakan
1. Kaji kulit untuk luka terbuka
Rasional : Memberikan informasi pada kulit yang terbuka
2. Ubah posoi dengan sering
Rasional : Mengurangi tekanan yang konstan pada area terluka.
3. Bersihkan daerah luka
Rasional : Menurunkan kadar kontaminasi kulit
4. Letakkan bantalan pelindung dibawah kaki dan pergelengan tulang.
Rasional : Meminimalkan tekanan pada area yang terluka
DX. 5 Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit, terpajan pada lingkungan dan prosedur invasive
Tujuan dan kriteria hasil : Mencapai penyembuhan luka tepat waktu, tidak ada pus, eritema, dan demam.
Rencana tindakan
1. Inspeksi kulit untuk adanya iritasi robekan kontinuitas
Rasional : Pen tidak harus dimasukan melalui kulit yang dapat menimbulkan infeksi tulang
2. Kaji sisi pen /kulit apakah ada keluhan nyeri, edema, eritema dan drainase bau tidak enak.
Rasional : Dapat mengindikasikan timbulnya infeksi local/nekrosis jaringan
3. Lakukan perawatan luka
Rasional : Dapat mencegah kontaminasi silang dan kemungkinan infeksi
4. Observasi luka terhadap tanda-tanda infeksi
5. Kolaborasi pemberian obat antibiotik
Rasional : Antibiotik spectrum luas dapat digunakan sebagai profilaksis atau dapat ditujukan pada mikroorganisme khusus. ( Doenges, ME. 2000 )
4. Pelaksanaan
Pelaksanaan tindakan keperawatan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik ( Nursalam, 2001, dikutip dari Iyer, et al, 1996 ),
Tahap ini merupakan tahap keempat dari proses keperawatan, oleh karena itu pelaksanaannya dimulai setelah rencana tindakan dirumuskan dan mengacu kepada rencana tindakan sesuai skala ; sangat urgen, urgen, dan tidak urgen ( non urgen ). ( Nursalam, 2001, dikutip dari Griffin, et al, 1986 )
Menurut Nursalam,(2001), ada beberapa tahap dalam tindakan keperawatan, yaitu:
a. Tahap Persiapan, yang menuntut perawat mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam tindakan.
b. Tahap Intervensi, adalah kegiatan pelaksanaan dari perencanaan yang meliputi kegiatan Independen (mandiri), Dependen (pelaksanaan dari tindakan medis) dan Interdependen (kerjasama dengan tim kesehatan lain).
c. Tahap Dokumentasi, adalah pencatatan yang lengkap dan akurat terhadap suatu kejadian dalam proses keperawatan.
5. Evaluasi
evaluasi adalah salah satu yang direncanakan dan perbandingan yang sistematis pada status kesehatan klien. ( Nursalam, 2001, dikutip dari Griffin dan Christensen, 1986 ), sedangkan mengatakan evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. ( Nursalam 2001, yang dikutip dari Ignatavius dan Bayne, 1994 )
Evaluasi yang digunakan mencakup 2 bagian yaitu evaluasi formatif yang disebut juga evaluasi proses atau evaluasi jangka pendek adalah evaluasi yang dilaksanakan secara terus menerus terhadap tindakan yang telah dilakukan. Sedangkan evaluasi sumatif yang disebut juga evaluasi akhir adalah evaluasi tindakan secara keseluruhan untuk menilai keberhasilan tindakan yang dilakukan dan menggambarkan perkembangan dalam mencapai sasaran yang telah ditentukan. Bentuk evaluasi ini lazim menggunakan format “ SOAP “ ( Nursalam, 2001, dikutip dari Griffin dan Christensen 1986 ).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar